Saturday, March 5, 2016

10 Pejuang HAM



1.      Bunda Teresa (Agnes Gonxha Bojaxhiu lahir di Üsküb, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus 1910 – meninggal di Kalkuta, India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih (bahasa Inggris: Missionaries of Charity; M.C.) di Kalkuta, India, pada tahun 1950. Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama di seluruh India dan selanjutnya di negara lain. Setelah kematiannya, ia mendapat gelar beata (blessed dalam bahasa Inggris) oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi gelar Beata. Pada 1970-an, ia menjadi terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Pemerintah, organisasi sosial dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari karyanya, namun tak sedikit filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang menghadapi banyak kritik. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk penghargaan pemerintah India, Bharat Ratna (1980) dan Penghargaan Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100 pada tahun 2010, seluruh dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh Presiden India, Pratibha Patil.
2.      Mohandas Karamchand Gandhi (lahir di Porbandar, Gujarat, India Britania, 2 Oktober 1869 – meninggal di New Delhi, India, 30 Januari 1948 pada umur 78 tahun) adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India. Pada masa kehidupan Gandhi, banyak negara yang merupakan koloni Britania Raya. Penduduk di koloni-koloni tersebut mendambakan kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri. Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Dia adalah aktivis yang tidak menggunakan kekerasan, yang mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Dia membantu dalam proses kemerdekaan India dari jajahan Inggris; hal ini memberikan inspirasi bagi rakyat di koloni-koloni lainnya agar berjuang mendapatkan kemerdekaannya dan memecah Kemaharajaan Britania untuk kemudian membentuk Persemakmuran.

3.      Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Ia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar.[5] Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta. Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.

4.      Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".

5.      Nelson Rolihlahla Mandela lahir di Mvezo, Afrika Selatan, 18 Juli 1918 – meninggal di Johannesburg, Afrika Selatan, 5 Desember 2013 pada umur 95 tahun) adalah seorang revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999. Ia adalah orang Afrika Selatan berkulit hitam pertama yang memegang jabatan tersebut dan presiden pertama yang terpilih melalui keterwakilan penuh, dalam sebuah pemilu multiras. Pemerintahannya berfokus pada penghapusan pengaruh apartheid dengan memberantas rasisme, kemiskinan dan kesenjangan, dan mendorong rekonsiliasi rasial. Selaku nasionalis Afrika dan sosialis demokratik, ia menjabat sebagai Presiden Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1991 sampai 1997. Selain itu, Mandela pernah menjadi Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok pada 1998 sampai 1999. Terlahir dari keluarga kerajaan Thembu dan bersuku Xhosa, Mandela belajar hukum di Fort Hare University dan University of Witwatersrand. Ketika menetap di Johannesburg, ia terlibat dalam politik anti-kolonial, bergabung dengan ANC, dan menjadi anggota pendiri Liga Pemuda ANC. Setelah kaum nasionalis Afrikaner dari Partai Nasional berkuasa tahun 1948 dan menerapkan kebijakan apartheid, popularitas Mandela melejit di Defiance Campaign ANC tahun 1952, terpilih menjadi Presiden ANC Transvaal, dan menghadiri Congress of the People tahun 1955. Sebagai pengacara, ia berulang kali ditahan karena melakukan aktivitas menghasut dan, sebagai ketua ANC, diadili di Pengadilan Pengkhianatan pada 1956 sampai 1961, namun akhirnya divonis tidak bersalah. Meski awalnya berunjuk rasa tanpa kekerasan, ia dan Partai Komunis Afrika Selatan mendirikan militan Umkhonto we Sizwe (MK) tahun 1961 dan memimpin kampanye pengeboman terhadap target-target pemerintahan. Pada 1962, ia ditahan dan dituduh melakukan sabotase dan bersekongkol menggulingkan pemerintahan, dan dihukum penjara seumur hidup di Pengadilan Rivonia.

6.      Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1964 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 39 tahun) adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

7.      Yap Thiam Hien (lahir di Koeta Radja, Aceh, 25 Mei 1913 – meninggal di Brusel, Belgia, 25 April 1989 pada umur 75 tahun) adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  (YLBHI).Pada era Bung Karno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, Oei Tjoe Tat, dan Sudisman. Yap bersama H.J.C Princen, Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan sekaligus mewakili Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan. Ia juga membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai akhir hayatnya walaupun ada himbauan dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka. Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan kesal. Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah. Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.

8.      Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, lebih dikenal sebagai Poncke Princen  (lahir di Den Haag, Belanda, 21 November 1925 – meninggal di Jakarta, 22 Februari 2002 pada umur 76 tahun) adalah seorang oposan sejati berkebangsaan Belanda yang pada 1949 beralih menjadi warga negara Indonesia, sejak muda hingga tua, melawan berbagai rezim yang melakukan penindasan dan penyelewengan, mulai dari Nazi hingga Orde Baru, mulai dari rezim sayap kanan hingga rezim yang cenderung ke-kiri-kiri-an. Dia hanya hidup di Belanda sejak lahir hingga masa muda, selebihnya dia habiskan di Indonesia. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke. Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C Princen menggunakan nama Poncke. Siapalah yang peduli. Ia toh sudah lama terbiasa tak punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk kesehatannya. Di Indonesia, dia terutama dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia. Princen menikah dengan Janneke Marckmann (ke 1971) dan nanti dengan Sri Mulyati. Dia ada empat anak: Ratnawati H.E. Marckmann, Iwan Hamid Marckmann, Nicolaas Hamid Marckmann dan Wilanda Princen. Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke yang muak menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya, meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan yakni Tentara Nasional Indonesia. Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949. Pada tahun 1948 pula dia, walaupun seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan pihak militer yang bertindak sewenang-wenang. Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966). Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan Partai Komunis Indonesia (yang saat itu menjadi massa utama pendukung Presiden Sukarno dan rival dari kekuatan militer), mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan Darat. sehingga pamor kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi energi kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer dukungan CIA untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan Suharto menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, Orde Baru, menggantikan rezim yang lama - Orde Lama. Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun.Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.

9.      Yosepha Alomang atau Mama Yosepha adalah seorang perempuan tokoh Amungme, Papua. Ia terkenal karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar PT Freeport Indonesia.Mama Yosepha dilahirkan di Tsinga, Papua, pada tahun 1940-an. Sejak bayi ia telah menjadi anak yatim-piatu. Ia hidup bersama ayah tirinya. Pada masa kecilnya, ia hidup berpindah-pindah, bersama dengan para penduduk desa lainnya, karena perintah pemerintah Belanda, dan kemudian pemerintah Indonesia.Yosepha menikah pada awal 1970-an, setelah beberapa tahun bersekolah. Saat itu, ia telah bekerja sebagai bidan yang cekatan dan, berkat bantuan Gereja Katolik, ia bekerja menolong orang-orang lain. Perjuangan melawan Freeport telah mendominasi kehidupan dan pekerjaan Mama Yosepha. Misalnya, anak sulung Yosepha, Johanna (lahir 1974), meninggal dunia pada 1977 karena kelaparan, ketika Yosepha bersama seluruh keluarganya bersembunyi di hutan-hutan dari pengejaran militer. Operasi militer ini dilakukan setelah ratusan rakyat Amungme memotong pipa milik Freeport, karena Freeport dianggap telah merampas tanah kepunyaan rakyat Amungme di Agimuga. Dengan bantuan Gereja, Yosepha dan sejumlah perempuan lainnya membangun koperasi untuk memasarkan buah-buahan dan sayuran hasil tanaman mereka. Yosepha merasa Freeport mestinya mendukung rakyat setempat dengan membeli bahan-bahan hasil kerja mereka, namun perusahaan itu mendatangkan bahan-bahan tersebut dari luar Papua. Para perempuan itu melakukan protes dengan menghancurkan buah-buah dan sayuran impor. Pada 1991, Yosepha mengadakan aksi unjuk rasa selama tiga hari di bandar udara di Timika, dengan memasang api di landasan udara, sebagai tanda protes atas penolakan Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mendengarkan keprihatinan rakyat setempat dan perlakuan buruk yang berkelanjutan terhadap rakyat Papua. Pada 1994, Mama Yosepha ditangkap karena dicurigai menolong tokoh Organisasi Papua Merdeka, Kelly Kwalik. Bersama dengan seorang perempuan Papua lainnya, Mama Yuliana, ia dimasukkan ke sebuah tempat penampungan kotoran manusia. Ia dikeram di tempat itu selama seminggu dengan kotoran manusia setinggi lututnya. Dua tahun kemudian, Yosepha mengajukan tuntutan perdata terhadap Freeport McMoRan Copper & Gold di Amerika Serikat dan menuntut ganti rugi bagi dirinya dan untuk kerusakan lingkungan yang telah ditimbulkannya. Ketika ia mendengar berita tentang runtuhnya bendungan Wanagon pada Mei 2000, Mama Yosepha segera kembali dari Jayapura ke Timika. Ia berhasil mengunjungi tempat kejadian dan menyaksikan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap kebun, rumah, dan ternak rakyat setempat. Yosepha kembali ke Jayapura dengan sejumlah rakyat Amungme lainnya dan mengadakan demonstrasi di depan gedung DPRD. Pada 2001, Yosepha mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999.

10.  Abdul Hakim Garuda Nusantara (lahir di Pekalongan, 12 Desember 1954; umur 60 tahun) adalah seorang pengacara dan pejuang hak asasi manusia di Indonesia. Sejak di tingkat empat Hakim sudah menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, di Divisi Hak Asasi Manusia. Karena itu, setelah lulus pada 1978, ia mengambil spesialisasi Hukum Perdata Internasional di Universitas Washington. Selesai dari studinya, ia kembali ke LBH hingga diangkat sebagai Direktur lembaga tersebut. Selain mengabdikan diri di Lembaga Bantuan Hukum, Hakim juga pernah menjabat sebagai Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ketua pengarah International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), dan menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Hukum Ekonomi di Fakultas Ekonomi, UI. Ia juga ikut mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Sebagai pengacara, ia pernah menangani sejumlah kasus besar seperti Kasus Tanjung Priok 1985 dan Peristiwa 27 Juli 1996. Abdul Hakim juga mengabdikan diri sebagai Wakil Ketua Tim Penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (1999), Wakil Ketua Tim RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Anggota Tim Revisi RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya, Departemen Pertahanan (2000). Pada 2001, ia dicalonkan menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) oleh PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia dan LSM. Semula ia menolak pencalonan itu karena merasa ia sudah terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatannya selama ini, namun akhirnya ia berhasil diyakinkan.

No comments:

Post a Comment